Selasa, 13 September 2016

Ketika Umat Islam Minoritas, Non Muslim Intoleran

Ketika Umat Islam Minoritas, Non Muslim Intoleran


Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M.Phil, MA (Ketua Majelis Pimpinan MIUMI)

Baru-baru ini Kepala SMAN 2 Denpasar, Bali melarang salah seorang siswinya yang Muslimah mengenakan jilbab, mengapa hal itu bisa terjadi ?

Sebabnya pertama-tama kepala sekolah ini tidak mempunyai jiwa toleransi sama sekali. Boleh jadi ia adalah seorang fundamentalis pemeluk Hindu atau mungkin juga Hindu sekuler yang tidak suka agama atau orang yang beragama. 

Sikap phobia terhadap atribut atau simbol-simbol agama lain lebih disebabkan oleh persepsi yang salah tentang agama lain. Seperti orang Barat terhadap pakaian jilbab Muslimah, jilbab dianggap sebagai pakaian fundamentalis yang selama ini dicap sebagai aliran keras dalam beragama yang dikaitkan dengan terorisme. Padahal, sekarang ini kesadaran berjilbab tidak hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki pemahaman Islam yang keras, orang awam pun kini memerintahkan puteri mereka menggunakan jilbab, meskipun pengetahuan agama mereka minim. 

Ternyata pelarangan jilbab itu sudah lama dan terjadi di seluruh Bali dan didukung Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali. Apakah itu tidak bertentangan dengan UU Sisdiknas dan UUD 1945 Pasal 29 ?


Nah, sebab yang kedua jika itu adalah keputusan seluruh jajaran Dinas Pendidikan di Provinsi Bali, berarti mereka itu buta Undang-Undang atau sengaja melanggar Undang-Undang. Sebab dasar hukumnya tidak hanya pasal 29, tapi juga pasal 28B ayat 2, 28C ayat 1 dan 2, pasal 28E ayat 1 dan 2, 28I ayat 1,2,4 dan 5, pasal 28J ayat 1 dan 2. Dasar itu diperkuat lagi dengan surat edaran Dikdasmen no. 1174/C/PP/2002 tentang diperkenankannya siswi mengenakan jilbab ketika sekolah.  

Mereka hanya merasa berada di Provinsi Bali yang mayoritas berpenduduk Hindu, tapi mungkin mereka lupa sedang berada di negara Indonesia. Ini juga merupakan bukti bahwa ketika umat Islam menjadi minoritas, non Muslim melakukan tindakan intoleransi yang menggelisahkan dan ketika umat Islam menjadi mayoritas nasib non-Muslim tidak separah Muslim ketika Muslim yang minoritas.  Tapi yang mengherankan mengapa kasus ini tidak menjadi perhatian media nasional maupun internasional, padahal jika ini dilakukan oleh umat Islam isunya tidak hanya nasional tetapi internasional.

Mengapa masih ada yang alergi dan phobia jika ada murid Muslimah yang berjilbab di sekolahnya ?
Ini lagi-lagi karena lemahnya toleransi dan pluralisme sosiologis umat non-Muslim. Masalahnya paling mendasar adalah karena non-Muslim tidak memahami atau tidak mau memahami Islam. Yaitu Islam dalam arti sebagai agama dan peradaban yang otomatis menciptakan kultur, tradisi dan tren kehidupan. Jilbab adalah salah satu syariat Islam yang mulai mentradisi dan menjadi tren kehidupan remaja Muslimah. Mungkin mereka mengira jilbab itu sama seperti pakaian biasa yang bisa dipakai dan bisa tidak. Masalahnya lagi ketika syariat Islam, seperti penggunaan jilbab, makanan halal, larangan pornografi dan sebagainya mulai menjadi tren sosial dan mentradisi di masyarakat, masyarakat non-Muslim merasa seakan-akan Islam telah mendominasi kultur mereka. Padahal syariat tidak akan mengorbankan atau mengancam kehidupan sosial mereka. Ini yang mereka tidak pahami.  

Yang sebenarnya merugikan umat Islam dan bangsa Indonesia, adalah ketika tradisi Barat, seperti pakaian minim, tradisi valentine, narkoba, seks bebas dan lain sebagainya mempengaruhi anak-anak remaja Indonesia baik Muslim maupun non-Muslim. Yang dirugikan adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan, terutama umat Islam.  Sebab tradisi-tradisi dari Barat itu bisa mengkikis habis adat ketimuran bangsa Indonesia, merusak mental dan moral generasi muda, serta menghancurkan sendi-sendi masyarakat beragama yang menjadi mayoritas bangsa Indonesia. 

Demikian pula pihak sekolah Katolik dan Kristen selalu menolak menyediakan guru beragama Islam untuk mengajar Islam pada muridnya yang beragama Islam seperti kasus sekolah Katolik di Blitar tahun lalu. Mengapa itu masih saja terjadi di negeri yang mayoritas mutlak umat Islam ini ?
Kebanyakan Sekolah Kristen di negara-negara Muslim mempunyai tugas misi Kristenisasi atau bagian dari misi itu. Sekolah adalah salah satu lahan Kristenisasi. Jika mereka menyediakan guru agama Islam berarti mereka kehilangan misi mereka. Inilah contoh bagaimana mereka bebas menyebarkan agama mereka di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim.   

Mengapa masih banyak orang tua Islam yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah Kristen dan Katolik, sehingga mayoritas muridnya justru beragama Islam ?
Ada dua kemungkinan, pertama, karena di daerah itu tidak ada sekolah yang lebih bermutu dibanding sekolah Kristen dan Katholik. Kedua, karena orang tua itu tidak memahami Islam dengan baik dan tidak tahu hakekat dan tujuan pendidikan Islam.  Kemungkinan lain orang yang mengirim anaknya ke sekolah non-Islam hanya mengejar dunia. Nalar dan harapan orang tua yang seperti itu begini : “Jika anak saya berprestasi di sekolah, maka dia akan dapat kuliah di Perguruan Tinggi terbaik, setelah dia lulus dia akan dapat pekerjaan terbaik, jika dia dapat pekerjaan baik dia akan hidup sejahtera”. 

Adapun yang tidak menjadi pertimbangan adalah,  apakah materi dapat menjamin anaknya nanti dapat hidup bahagia dan sejahtera. Jika terjadi masalah dalam kehidupan anak yang bersangkutan, bagaimana ia akan menyelesaikannya jika tidak mengerti agama. Hal ini juga akan membawa dampak kepada anak cucu secara turun termurun.  

Apakah tidak akan terganggu akidah murid Islam jika sekolah di sekolah Katolik dan Kristen baik SD, SMP, SMA atau SMK ?     
Bisa jadi dia tidak terganggu secara serius jika di rumahnya orang tuanya terdapat pendidikan agama yang lebih kuat.  Jika di rumah tidak kuat pendidikan agamanya, maka anak yang sekolah di sekolah Kristen dan Katholik itu tidak hanya terganggu tapi akan lemah akidahnya, minim pengetahuan Islamnya, dan rendah ghirah diniyyah-nya. Sebab, aqidah harus ditanamkan sejak usia dini (SD dan SMP). Jika sejak dini suasana sekolahnya adalah jauh dari Islam, maka ini akan mempengaruhi kejiwaan anak tersebut.  

Bisa dibayangkan jika seorang murid tidak mendapatkan sentuhan agama sama sekali di sekolahnya, sementara orang tuanya tidak mengerti Islam dan di rumahnya tidak ada pengajaran agama Islam, maka generasi yang akan dihasilkan oleh model pendidikan ini adalah generasi yang jauh dari Islam,  bahkan suatu saat bisa memusuhi atau membenci agamanya sendiri. Inilah yang menjadi target missionarisme yang dipesankan oleh Samuel Zwemer, pada Konferensi Missionaris 1935 di Jerussalem.

Pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus pelarangan jilbab di Bali yang kebetulan mayoritas Hindu tersebut ?
Untuk kaum liberal dari agama apapun, ini adalah pesan bahwa yang perlu belajar pluralisme agama dalam artian sosiologis sebenarnya adalah non-Muslim, maka dari itu tidak perlu berambisi menyebarkan faham pluralism agama kepada umat Islam. Tidak perlu pula mencari justifikasi dari Alquran dan Hadis dengan dipaksa-paksakan sekedar untuk mencari dalil bahwa non-Muslim itu masuk surga. Bagi mereka yang gemar terlibat dalam Interfaith Dialogue atau Interreligious Dialogue, masalah ini seharusnya diselesaikan dalam forum-forum dialog tersebut. Secara internal tokoh-tokoh umat Islam perlu menjelaskan hakekat syariat Islam kepada non-Muslim agar tidak terjadi kesalahpahaman. 

Untuk para tokoh agama Hindu diharapkan dapat memahami pakaian jilbab sebagai salah satu kewajiban agama yang harus dilindungi. Islam tidak melarang pemeluk agama Hindu untuk menjalankan agamanya, juga pemeluk agama lain. Jika orang Hindu bebas mendirikan pura dan orang Kristen bebas mendirikan gereja dan sekolah Kristen di negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini,  mengapa hanya sekedar pakaian jilbab saja orang Hindu tidak dapat melindungi dan memberi kesempatan ? 

Sebagai salah seorang pakar pendidikan terkemuka di negeri ini, apa saran anda terhadap Mendikbud agar kasus pelarangan jilbab di Bali tidak akan terulang kembali di propinsi lain yang umat Islamnya minoritas seperti Papua, Papua Barat, NTT dan Sulawesi Utara ? 
Dalam masalah ini Mendikbud harus bertindak tegas sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan Menteri yang berlaku. Tegas dalam pengertian ini bukan hanya menegur langsung kepada yang bersangkutan, tetapi memerlukan mekanisme tersendiri yang kuat dan terkontrol. Dalam hal ini hanya Menterilah yang bisa membuat mekanisme ini berjalan dengan baik atau tidak. 

Selain itu perlu pula diingat bahwa seorang Menteri adalah pemimpin, dan Menteri Pendidikan adalah pemimpin pendidikan nasional dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban di hari akhir nanti. Jika nanti ribuan siswi Muslim, di provinsi dimana Muslim menjadi minoritas tidak dapat menutup aurat mereka karena ketidak-tegasan Menteri, maka dosa mereka akan ditanggung oleh sang Menteri tersebut. Wallahu A’lam. [SELESAI]

(Surentu pamungkas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar